Senin, 16 Januari 2012

Melukis Langit

Sore hari ini, langit terasa indah sekali. Langit berhiaskan pelangi . Memamerkan warnanya yang indah. Aku yang termenung dalam angan seakan terbawa akan warnanya. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu tergoreskan dalam pikiranku. Aku terbawa dalam indahnya fatamorgana. Meninggalkan realita yang sesungguhnya.

Teringat masa lalu. Diriku yang berpijak pada bumi ini tak menyadari, betapa bodohnya diriku. Terbawa oleh muslihat mimpi yang bodoh. Aku lupa akan sebuah mimpi. Diriku yang terus bermimpi telah menyerah pada harapannya. Aku baru tersadar, ketika semuanya hanyalah bualan semata. Aku yang bodoh ini, sudah tak percaya akan mimpi.

Mungki aku tak menyadari, betapa pentingnya sebuah mimpi. Seperti yang sering dikatakan para motivator, “Mimpi adalah sebuah motifasi hidup”. Entah mengapa, kepercayaan ku terhadap mimpi telah sirna.

Dahulu, aku sering bermimpi. Berangan-angan dalam hidup yang kejam ini. Aku selalu berharap, semua mimpiku akan terwujud suatu saat nanti. Namun, aku tetaplah aku, seperti ini. Selalu trauma akan mimpi.

Selama dua puluh tahun aku hidup, belum pernah aku merasakan mimpi-mimpiku terwujud. Mungkin, itulah yang menyebabkan diriku trauma akan mimpi.

Mimpi hanyalah membuatku buta akan kenyataan. Mimpi telah membuatku menjadi orang yang haus akan pengharapan. Seolah lintah darat diriku ini, yang tak pernah puas dengan keadaan.

Mimpi membuat ku lemah. Menjadikan aku manusia yang hanya berharap pada sesuatu yang kosong.

Aku jadi teringat perkataan ibuku tentang mimpi.

“Nak, bercita-citalah setinggi langit. Buat ibu mu ini bangga suatu hari nanti”.

Aku selalu berpikir perkataan orang tuaku adalah sebuah beban yang harus ku pikul. Sebuah pengharapan yang membuatku terbebani dalam menjalani hidup ini.

Aku sadar, pikiranku ini sangat picik. Bahkan, terdengar durhaka diriku ini. Tapi, mau bagaimana lagi?. Aku selalu berpikir seperti itu. Entah apa yang meracuni otakku ini.

Sekarang, baru aku sadari. Bodohnya diriku yang berpikir seperti itu.

Aku tersadar oleh keadaan. Keadaan membukakan pintu hatiku yang beku. Hati yang selama ini tersayat-sayat oleh muslihat mimpi. Aku salah. Aku salah dalam menafsirkan mimpi. Aku yang selama ini benci akan mimpi mulai membangun mimpinya kembali. Aku rajut kembali mimpiku yang telah hancur.

Pelangi di langit sana telah menyadarkan ku. Hidup itu penuh dengan pilihan. Seumpama warna yang diurai pelangi. Dan aku harus memilih jalan mana yang ku inginkan.

Mulai dari sekarang, aku akan berjanji pada diriku sendiri. Aku harus selalu bermimpi. Menggapai cita-cita setinggi mungkin. Seperti kata ibuku. Aku akan membuatnya bangga. Akan membuat beliau bahagia.

Aku jadikan langit sebagai saksi. Telah ku bulatkan tekadku untuk berubah. Membenahi semua yang telah terjadi.

Indahnya pelangi menjadikan inspirasi untukku. Warna yang mereka uraikan mewakili harapan-harapan yang ku panjatkan.

-sebuag penggalan dari cerpen pertama saya, mudah-mudahan dalam waktu cepat akan menyusul tulisan-tulisan berikutnya-

terima kasih bagi para pembaca yang sudah mengunjungi blog saya :)

1 komentar:

  1. tak kan salah orang yang bermimpi, berangan, dan sebuah keberahasilan seseorang bermimpi, berangan seseorang adalah di kala mampu menjaga mimpi di tangannya erat di genggam bukan di atas tempat tidur.

    BalasHapus