Rabu, 15 Juni 2011

PERAN LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP HAK-HAK KONSUMEN

Lembaga perlindungan konsumen adalah suatu wadah yang menangani kasus-kasus ataupun hal-hal yang berkenaan dengan konsumen. Lembaga Perlindungan konsumen sangat berperan penting dalam kehidupan masyarakat. Karena setiap konsumen berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan ketentuan yang telah berlaku. Oleh karena itu, penting suatu lembaga yang membantu konsumen dalam mendapatkan haknya secara utuh.

Berbicara tentang lembaga perlindungan konsumen, di Indonesia banyak terdapat lembaga-lembaga yang bergerak. Namun, dalam susunan formalnya lembaga-lembaga tersebut berada dibawah naungan DIREKTORAT PERLINDUNGAN KONSUMEN (DIREKTORAT JENDRAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI), seperti BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional), LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat), BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen). Berikut adalah uraian mengenai lembaga-lembaga tersebut,

1. BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional)

Dalam upaya pengembangan perlindungan konsumen, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional maka dibentuklah Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Namun demikian, operasional lembaga ini baru terlaksana pada 5 Oktober 2004, sesuai Keppres Nomor 150 Tahun 2004.

BPKN yang dibentuk Pemerintah merupakan lembaga independen yang berfungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia

Aktivitas BPKN yang menonjol saat ini adalah penyusunan grand scenario kebijakan perlindungan untuk memastikan kecenderungan dan prioritas penanganan perlindungan konsumen yang efektif di masa datang, serta peningkatan dan perumusan amandemen Undang-undang Perlindungan Konsumen, sebagai pertimbangan bagi pemerintah untuk penyempurnaan Undang-undang Perlindungan Konsumen.

TUGAS UTAMA BPKN

1. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen,

2. Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen,

3. Melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen,

4. Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat,

5. Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen,

6. Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pelaku usaha; dan

7. Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.

STRUKTUR ORGANISASI BPKN

Keanggotaan BPKN terdiri dari unsur Pemerintah, Pelaku Usaha, LPKSM, Akademisi dan Tenaga Ahli, yang saat ini keseluruhannya berjumlah 17 anggota serta dibantu beberapa staf sekretariat.

Berkedudukan di Jakarta, BPKN telah menetapkan tugas dan tata kerjanya sesuai Keputusan Ketua BPKN No. 02/BPKN/Kep/12/2004. Dalam memperlancar tugas dan fungsinya untuk pengembangan perlindungan konsumen, BPKN membentuk komisi-komisi, yaitu:

1. Komisi I : Penelitian dan Pengembangan,

2. Komisi II : Informasi, Edukasi dan Pengaduan

3. Komisi III : Kerjasama

2. LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat)

LPKSM adalah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang perlindungan konsumen. Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, LPKSM memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen

TUGAS LPSKM,

1. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa,

2. Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya,

3. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen,

4. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen,

5. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.

Saat ini LPKSM telah berkembang sebanyak kurang lebih 200 lembaga yang tersebar di berbagai propinsi, kabupaten dan kota. Namun lembaga yang telah memiliki TDLPK sebagai tanda diakuinya LPKSM tersebut bergerak di bidang perlindungan konsumen, hingga bulan Juli 2006 tercatat mencapai 107 LPKSM.

LPKSM posisinya amat strategis dalam ikut mewujudkan perlindungan konsumen. Selain menyuarakan kepentingan konsumen, lembaga ini juga memiliki hak gugat (legal standing) dalam konteks ligitasi kepentingan konsumen di Indonesia. Hak gugat tersebut dapat dilakukan oleh lembaga konsumen (LPKSM) yang telah memenuhi syarat, yaitu bahwa LPKSM yang dimaksud telah berbentuk Badan Hukum atau Yayasan yang dalam anggaran dasarnya memuat tujuan perlindungan konsumen. Gugatan oleh lembaga konsumen hanya dapat diajukan ke Badan Peradilan Umum (Pasal 46 Undang-Undang Perlindungan Konsumen).

LPKSM banyak menaungi lembaga-lembaga perlindungan konsumen daerah di seluruh I ndonesia, untuk uraian jelasnya silahkan visit

http://pkditjenpdn.depdag.go.id/index.php?page=lpksm

3. BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen)

BPSK adalah lembaga non struktural yang berkedudukan di Kabupaten dan Kota yang mempunyai fungsi ”menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan”. Keanggotaan BPSK terdiri dari unsur Pemerintah, konsumen dan unsur pelaku usaha.

BPSK diharapkan dapat mempermudah, mempercepat dan memberikan suatu jaminan kepastian hukum bagi konsumen untuk menuntut hak-hak perdatanya kepada pelaku usaha yang tidak benar. Selain itu dapat pula menjadi akses untuk mendapatkan informasi serta jaminan perlindungan hukum yang sama bagi konsumen dan pelaku usaha.

Dalam penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, BPSK berwenang melakukan penelitian dan pemeriksaan terhadap bukti surat, dokumen, bukti barang, hasil uji laboratorium, dan bukti-bukti lain, baik yang diajukan oleh konsumen maupun oleh pelaku usaha. Prinsippenyelesaian sengketa di BPSK adalah cepat, murah dan sederhana.

Pada tahap I dengan Keppres Nomor 90 Tahun 2001 telah dibentuk 10 BPSK. Pada tahap II, berdasarkan Keppres Nomor 108 Tahun 2004, dibentuk pula 14 BPSK. Begitu juga pada tahap III, yang diamanatkan melalui Keppres Nomor 18 Tahun 2005, dibentuk 4 BPSK. Sementara ini BPSK yang sudah mempunyai anggota dan diangkat berdasarkan keputusan menteri perdagangan totalnya berjumlah 22 BPSK.

Untuk informasi mengenai badan-badan yang menangani setiap daerah, silahkan kunjungi,

http://pkditjenpdn.depdag.go.id/index.php?page=bpskbrw

Kamis, 02 Juni 2011

UNDANG UNDANG ANTI MONOPOLI DAN DAMPAKNYA BAGI PELAKU USAHA

membicarakan perihal undang-undang antimonopoli kita tidak terlepas dari latar belakang dan tujuan di bentuknya undang-undang tersebut. membicarakan tentang isi dan ketentuan dalam undang-undang anti monopoli dapat kita telusuri sendiri di buku perundang-undangan. Dalam hal ini, saya akan membahas latar belakang, tujuan dan dampak dari undang-undang antimonoploli bagi pelaku usaha.

A. Latar Belakang

Latar belakang diundangkannya Undang-undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara RI No. 33 Tahun 1999) adalah karena sebelum UU tersebut diundangkan muncul iklim persaingan usaha yang tidak sehat di Indonesia, yaitu adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu, baik itu dalam bentuk monopoli maupun bentuk-bentuk persaingan usaha tidak sehat lainnya. Pemusatan kekuatan ekonomi pada kelompok pengusaha tertentu terutama yang dekat dengan kekuasaan, telah menyebabkan ketahanan ekonomi Indonesia menjadi rapuh karena bersandarkan pada kelompok pengusaha-pengusaha yang tidak efisien, tidak mampu berkompetisi, dan tidak memiliki jiwa wirausaha untuk membantu mengangkat perekonomian Indonesia.

UU No. 5/1999 ini diundangkan setelah Indonesia mengalami krisis ekonomi di tahun 1997-1998 yang meruntuhkan nilai rupiah dan membangkrutkan negara serta hampir semua pelaku ekonomi. Undang-undang ini juga merupakan salah satu bentuk reformasi ekonomi yang disyaratkan oleh International Monetary Fund untuk bersedia membantu Indonesia keluar dari krisis ekonomi.

Undang-undang ini berlaku efektif pada tanggal 5 Maret 2000. Untuk mengawasi dan menerapkan Undang-undang ini dibentuk Komisi Pengawas Pengawas Persaingan Usaha atau disingkat KPPU (berdasar pasal 30 UU No. 5/1995).

Secara umum, isi UU No. 5/1999 telah merangkum ketentuan-ketentuan yang umum ditemukan dalam undang-undang antimonopoli dan persaingan tidak sehat yang ada di negara-negara maju, antara lain adanya ketentuan tentang jenis-jenis perjanjian dan kegiatan yang dilarang undang-undang, penyalahgunaan posisi dominan pelaku usaha, kegiatan-kegiatan apa yang tidak dianggap melanggar undang-undang, serta perkecualian atas monopoli yang dilakukan negara.

Sejauh ini KPPU telah sering menjatuhkan keputusan kepada para pelaku usaha di Indonesia yang melakukan perjanjian-perjanjian atau kegiatan-kegiatan yang dikategorikan terlarang oleh UU No. 5/1999 serta yang menyalahgunakan posisi dominan mereka.

Perjanjian yang dilarang oleh UU No. 5/1999 adalah: oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, intregasi vertikal, dan perjanjian tertutup. Sedang kegiatan yang dilarang oleh UU No. 5/1999 adalah: monopoli, monopsoni, penguasaan pasar dan persengkongkolan.

Pada 5 Maret 2009 yang lalu UU No. 5/1999 genap berusia sepuluh tahun, waktu yang cukup panjang dan relevan untuk melakukan refleksi dan evaluasi terhadap pelaksanaan UU Antimonopoli tersebut.

Praktik monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sementara itu, persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.Penjelasan Umum atas UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Sepuluh tahun penerapan UU Antimonopoli perlu dilakukan suatu refleksi, apa dampaknya bagi dunia usaha, bagi konsumen dan pemerintah. Selama sepuluh tahun berlakunya UU Antimonopoli, sejak tahun 2000 sampai sekarang menurut Zubaedah, Kasubdit Advokasi KPPU, KPPU telah menerima 963 laporan pelanggaran tentang larangan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat.

Setelah laporan itu diklarifikasi, yang ditindaklanjuti berjumlah 179. Dari jumlah tersebut sebanyak 121 diputuskan, 43 statusnya penetapan, sedangkan 15 lainnya sedang ditangani.

Dilihat dari jumlah kasus yang dilaporkan, yang sudah diputuskan dan yang sedang diproses, KPPU dapat dikatakan tergolong aktif melaksanakan tugas dan wewenangnya. Tetapi yang perlu dievaluasi secara sederhana adalah dampak UU Antimonopoli tersebut terhadap pelaku usaha, terhadap konsumen dan Pemerintah sendiri.


B. Tujuan Pembentukan Undang-undang No. 5/1999

  1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
  2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil;
  3. Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha;dan
  4. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha

Dalam menyukseskan tujuan tersebut, maka dalam hal ini perlu adanya suatu lembaga yang bertugas mengawasi dan menjaga jalannya undang-undang tersebut. dalam hal ini wewenang tersebut dipegang oleh KPPU (Komisi Pengawasan Persaingan Usaha).

Visi-Misi KPPU

  • Visi:

Terciptanya iklim usaha yang sehat, kesempatan berusaha yang sama, serta terciptanya ekonomi yang efisien dan adil, menuju masyarakat yang adil dan sejahtera


Misi:

Mengawasi pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1999;
Mendorong internalisasi nilai persaingan usaha pada pelaku usaha;
Mendorong internalisasi nilai persaingan dalam kebijakan pemerintah.



Strategi dan Program KPPU

I.Pengembangan Kelembagaan
II.Penegakan Hukum
III.Pengembangan Kebijakan Persaingan Usaha
IV.Dukungan publik (multistakeholders)

I. Pengembangan Kelembagaan
  1. Pengembangan Kelembagaan Sekretariat Komisi
  2. Pengembangan Kantor Perwakilan KPPU di daerah
  3. Peningkatan Sumber Daya Manusia Sekretariat KPPU
  4. Peningkatan Sarana dan Prasarana KPPU
  5. Anggaran KPPU
  6. Seleksi Anggota KPPU
II.Penegakan Hukum

Monitoring Pelaku Usaha

Penanganan Pelaporan

Penanganan Perkara

Litigasi dan Monitoring Pelaksanaan Putusan

III.Pengembangan Kebijakan Persaingan Usaha
  1. Harmonisasi Kebijakan
  2. Kajian Sektor Industri dan Perdagangan
  3. Penyusunan Naskah Akademis dan Rencana Revisi UU No.5/1999
  4. Penyusunan Pedoman Pelaksanaan UU No.5/1999
IV.Dukungan Publik
  1. Sosialisasi
  2. Forum Jurnalis
  3. Temu Usaha
  4. Komunitas Persaingan Usaha
  5. Workshop Hakim
  6. Publikasi
  7. Kerjasama Kelembagaan
Dampak UU Antimonopoli Bagi Pelaku Usaha

Dampak UU Antimonopoli tersebut bagi pelaku usaha adalah yang pertama, pelaku usaha tidak boleh menjalankan usaha dengan cara tidak fair atau menjalankan usaha merugikan pesaingnya baik secara langsung maupun tidak langsung; yang kedua pelaku usaha harus sungguh-sungguh bersaing dengan kompetitornya supaya tetap dapat eksis di pasar yang bersangkutan, baik dari aspek kualitas, harga maupun pelayanannya. Karena suatu pelaku usaha tidak tahu persis apa yang dilakukan oleh kompetitornya untuk tetap eksis, maka setiap pelaku usaha akan melakukan perbaikan peningkatan terhadap produknya (inovasi) untuk menghasilkan kualitas yang lebih baik, harga yang lebih murah dan memberikan pelayanan yang terbaik untuk menarik hati konsumen. Apakah ini sudah dijalankan oleh pelaku usaha di Indonesia? Sejak diberlakukannya UU Antimonopoli sepuluh tahun yang lalu, pelaku usaha umumnya sudah memperhatikan rambu-rambu yang ditetapkan di dalam UU Antimonopoli.

Paling tidak mengetahui bahwa ada UU Antimonopoli yang memberi kebebasan kepada pelaku usaha untuk menjalankan usahanya, tetapi kebebasan tersebut sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan di dalam UU Antimonopoli tersebut.

Misalnya, adanya larangan penguasaan pangsa pasar lebih dari 50% untuk satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (Pasal 17), dan penguasaan pangsa pasar lebih dari 75% untuk dua atau tiga pelaku usaha (Pasal 25 ayat 2 huruf b). Namun, batasan ini tidak berlaku mutlak.

Artinya tidak setiap pelaku usaha melebihi pangsa pasar tersebut langsung dilarang, melainkan harus dibuktikan terlebih dahulu, apakah dengan melebihi penguasaan pangsa pasar yang ditetapkan tersebut mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Kalau ya, maka larangan tersebut dikenakan kepada pelaku usaha yang bersangkutan, kalau tidak, maka pelaku usaha tersebut tidak dikenakan larangan tersebut.

Dengan demikian UU Antimonopoli tidak anti perusahaan besar. Justru UU Antimonopoli mendorong perusahaan menjadi perusahaan besar asalkan atas kemampuannya sendiri, bukan karena melakukan praktik persaingan usaha yang tidak sehat.

Dampak UU Antimonopoli Bagi Masyarakat (Konsumen)

Dampak UU Antimonopoli bagi masyarakat (konsumen) sangat dirasakan, yaitu akibat persaingan antara pelaku usaha masyarakat mempunyai pilihan dalam membeli suatu produk tertentu, baik dari aspek harga, kualitas maupun pelayanannya.

Salah satu buktinya di sektor penerbangan, setelah sektor penerbangan diliberalisasi, masyarakat dapat menikmati bepergian dengan pesawat terbang, karena harga tiket pesawat terjangkau oleh masyarakat. Ini adalah merupakan dampak yang langsung dirasakan konsumen, karena persaingan usaha dijamin oleh UU Antimonopoli.

Konsumen lebih sejahtera, karena dahulu Konsumen tidak mampu membeli tiket pesawat kalau mau bepergian ke Surabaya misalnya, maka sekarang Konsumen dapat bepergian dengan pesawat terbang, karena tiket pesawat terjangkau oleh masyarakat.

Namun di sisi lain, dalam kasus angkutan umum ini, akibat terjadinya persaingan usaha yang sehat melalui “perang” tariff ini, perusahaan-perusahaan maskapai penerbangan tidak lagi memperhatikan keselamatan penumpangnya sehingga banyak terjadi kecelakaan yang merenggut banyak korban jiwa. Hal ini disebabkan maskapai penerbangan mencoba meningkatkan keuntungan dengan mengabaikan prosedur keselamatan penerbangan sebagai akibat harus menekan pendapatan dari penetapan tariff yang murah.

Terlepas dari permasalahan keselamatan penumpang yang merupakan tanggung jawab Departemen Perhubungan, dengan kehadiran UU Antimonopoli ini membuat konsumen lebih bisa menikmati fasilitas-fasiltas yang dulunya adalah barang mewah karena harga yang tidak terjangkau seperti fasilitas komunikasi seluler.