Senin, 11 April 2011

Perbandingan antara Perundingan, Arbitrase, dan Ligitasi

a. Negosiasi atau perundingan Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa saling melakukan kompromi untuk menyuarakan kepentingannya. Dengan cara kompromi tersebut diharapkan akan tercipta win-win solution dan akan mengakhiri sengketa tersebut secara baik.

b. Litigasi adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa yang terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh hakim. Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win-win solution (solusi yang memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim harus menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak yang kalah.

Kebaikan dari sistem ini adalah:

1. Ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas (karena sistem peradilan di Indonesia terbagi menjadi beberapa bagian yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan Tata Usaha Negara sehingga hampir semua jenis sengketa dapat diperiksa melalui jalur ini)

2. Biaya yang relatif lebih murah (Salah satu azas peradilan Indonesia adalah Sederhana, Cepat dan Murah)

Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah:

1. Kurangnya kepastian hukum (karena terdapat hierarki pengadilan di Indonesia yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung dimana jika Pengadilan Negeri memberikan putusan yang tidak memuaskan salah satu pihak, pihak tersebut dapat melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi atau kasasi ke Mahkamah Agung sehingga butuh waktu yang relatif lama agar bisa berkekuatan hukum tetap)

2. Hakim yang "awam" (pada dasarnya hakim harus paham terhadap semua jenis hukum. namun jika sengketa yang terjadi terjadi pada bidang yang tidak dikuasai oleh hakim, maka hakim tersebut harus belajar lagi. Hal ini dikarenakan para pihak tidak bisa memilih hakim yang akan memeriksa perkara. Tentunya hal ini akan mempersulit penyusunan putusan yang adil sesuai dengan bidang sengketa. Hakim juga tidak boleh menolak untuk memeriksa suatu perkara karena hukumnya tidak ada atau tidak jelas. Jadi tidak boleh ada hakim yang menolak perkara. apalagi hanya karena dia tidak menguasai bidang sengketa tersebut.)

Berdasarkan konsekuensi bahwa putusan hakim akan memenangkan salah satu pihak dan mengalahkan pihak yang lain, maka berdasarkan hukum acara perdata di Indonesia Hakim wajib memerintahkan para pihak untuk melaksanakan mediasi (nanti akan dibahas lebih lanjut) untuk mendamaikan para pihak. Jika tidak dicapai perdamaian maka pemeriksaan perkara akan dilanjutkan. Meskipun pemeriksaan perkara dilanjutkan kesempatan untuk melakukan perdamaian bagi para pihak tetap terbuka (dan hakim harus tetap memberikannya meskipun putusan telah disusun dan siap untuk dibacakan). Jika para pihak sepakat untuk berdamai, hakim membuat akta perdamaian (acte van daading) yang pada intinya berisi para pihak harus menaati akta perdamaian tersebut dan tidak dapat mengajukan lagi perkara tersebut ke pengadilan. Jika perkara yang sama tersebut tetap diajukan ke pengadilan maka perkara tersebut akan ditolak dengan alasan ne bis in idem (perkara yang sama tidak boleh diperkarakan 2 kali) karena akta perdamaian tersebut berkekuatan sama dengan putusan yang final dan mengikat (tidak dapat diajukan upaya hukum).

c. Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya saja litigasi ini bisa dikatakan sebagai "litigasi swasta" Dimana yang memeriksa perkara tersebut bukanlah hakim tetapi seorang arbiter. Untuk dapat menempuh prosesi arbitrase hal pokok yang harus ada adalah "klausula arbitrase" di dalam perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa akibat perjanjian tersebut, atau "Perjanjian Arbitrase" dalam hal sengketa tersebut sudah timbul namun tidak ada klausula arbitrase dalam perjanjian sebelumnya. Klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase tersebut berisi bahwa para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan kewajiban pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut. Jika perkara tersebut tetap diajukan ke Pengadilan maka pengadilan wajib menolak karena perkara tersebut sudah berada di luar kompetensi pengadilan tersebut akibat adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase. Beberapa keunggulan arbitrase dibandingkan litigasi antara lain:

1. Arbitrase relatif lebih terpercaya karena Arbiter dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Arbiter dipilih oleh para pihak sendiri dan merupakan jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh pejabat peradilan manapun. Dalam hal para pihak tidak bersepakat dalam menentukan arbiter maka arbiter akan ditunjuk oleh ketua Pengadilan Negeri. Hal ini berbeda dengan litigasi karena para pihak tidak dapat memilih hakim yang memeriksa perkara. Calon arbiter yang ditunjuk juga boleh menolak penunjukan tersebut.

2. Arbiter merupakan orang yang ahli di bidangnya sehingga putusan yang dihasilkan akan lebih cermat. Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dinyatakan bahwa salah satu syarat untuk menjadi arbiter adalah berpengalaman aktif di bidangnya selama 15 tahun. Hal ini tentunya berbeda dengan hakim yang mungkin saja tidak menguasai bidang yang disengketakan sehingga harus belajar bidang tersebut sebelum memeriksa perkara.

3. Kepastian Hukum lebih terjamin karena putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak. Pihak yang tidak puas dengan putusan arbitrase tidak dapat mengajukan upaya hukum. namun putusan tersebut dapat dibatalkan jika terjadi hal-hal tertentu seperti dinyatakan palsunya bukti-bukti yang dipakai dalam pemeriksaan setelah putusan tersebut dijatuhkan atau putusan tersebut dibuat dengan itikad tidak baik dari arbiter.

Sedangkan kelemahannya antara lain:

1. Biaya yang relatif mahal karena honorarium arbiter juga harus ditanggung para pihak (atau pihak yang kalah)

2. Putusan Arbitrase tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan ke Pengadilan Negeri.

3. Ruang lingkup arbitrase yang terbatas hanya pada sengketa bidang komersial (perdagangan, ekspor-impor, pasar modal, dan sebagainya)

Cara-cara penyelesaian sengketa : Arbitrase

Arbitrase adalah salah satu jenis alternatif penyelesaian sengketa dimana para pihak menyerahkan kewenangan kepada kepada pihak yang netral, yang disebut arbiter, untuk memberikan putusan.

Dalam rumusan UU No. 30 Tahun 1999 sebagaimana judulnya yang lebih menekankan pada arbitrase, akan dapat dilihat bahwa pada dasarnya UU No. 30 Tahun 1999 lebih banyak mengatur mengenai ketentuan arbitrase, mulai dari tata cara, prosedur, kelembagaan, jenis-jenis, maupun putusan dan pelaksanaan putusan arbitrase itu sendiri. Ketentuan mengenai alternatif penyelesaian sengketa selain arbitrase itu sendiri hanya diatur dalam satu pasal yaitu pasal 6, yang nota bene tidak memberikan banyak arti bagi pranata alternatif penyelesaian itu sendiri.

UU No. 30 Tahun 1999 hanya mengatur penyelesaian sengketa dalam lingkup perdagangan yang meliputi segala sesuatu yang sepenuhnya berada dalam kewenangan para pihak untuk menyelesaikannya. Untuk alternatif penyelesaian sengketa bidang lainnya diatur dalam undang-undang tersendiri yang diatur khusus misalnya Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak untuk menyelesaikan sengketa perpajakan di luar pengadilan; Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dimana dalam salah satu pasalnya mengatur mengenai penyelesaian sengketa masalah perlindungan konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen; Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dimana didalamnya diatur mengenai penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan mengenai masalah lingkungan hidup.

Pranata penyelesaian sengketa alternatif pada dasarnya merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang didasarkan pada suatu kesepakatan para pihak yang bersengketa tersebut (win-win solution). Arbitrase dalam Pasal 1 (1) UU No. 30 Tahun 1999 adalah : “Penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.” Berdasarkan hal tersebut alternatif penyelesaian sengketa bersifat sukarela dan oleh karenanya tidak dapat dipaksakan oleh salah satu pihak kepada pihak lainnya yang bersengketa. Walaupun demikian, sebagai salah satu bentuk perjanjian, kesepakatan yang telah dicapai oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan harus ditaati oleh para pihak.

Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan-kelebihan yang antara lain sebagai berikut :

-Prosedur tidak berbelit dengan keputusan yang dapat dicapai dalam waktu relatif singkat.

-Biaya lebih murah.

-Dapat dihindari ekspose dari keputusan di depan umum.

-Para pihak dapat memilih hukum mana yang akan diberlakukan oleh arbitrase.

-Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak.

Pada tahun 1977 di Indonesia didirikan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (selanjutnya disebut BANI) yang merupakan salah satu badan penyelesaian sengketa masalah-masalah perdagangan, industri dan keuangan. Akan tetapi walaupun telah lama didirikan akan tetapi eksistensinya kurang diketahui oleh masyarakat karena awamnya pengetahuan masyarakat akan adanya badan alternatif penyelesaian sengketa itu sendiri.

Suatu hal yang sangat lumrah tentang sifat manusia yang selalu merasa tidak puas dan merasa bahwa suatu putusan yang dijalankan secara win-win solution melalui badan arbitrase itu tidak adil terlebih apabila suatu ketika ditemukan kejanggalan-kejanggalan yang ada dari pihak lawan yang menggunakan segala cara untuk mempengaruhi hasil putusan arbitrase sehingga pada akhirnya jalur pengadilan ditempuh untuk membatalkan putusan dari badan arbitrase tersebut.

Salah satu contoh kasus tentang pembatalan putusan salah satu badan arbitrase yakni BANI oleh Pengadilan Negeri Kudus yang terjadi di kota Kudus Jawa Tengah dengan perkara arbitrase No. 147/IV/ARB/BANI/2001 tentang kasus Kertas Uang RI antara PERUM PERURI (Percetakan Uang Republik Indonesia) sebagai Pemohon Arbitrase dengan PT. Pura Baru Tama sebagai Termohon Arbitrase.



Cara-cara penyelesaian sengketa : Mediasi

Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak.

Untuk menghindarkan penanganan dysfunctional conflict berkepanjangan dan biaya tinggi (misalnya melalui pengadilan) dapat dimanfaatkan model Alternative Dispute Resolution (ADR) dengan melibatkan pihak ketiga sebagai mediator untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi melalui cara-cara informal.

Peranan Mediator dapat berbentuk :

1. Facilitation, di mana pihak ketiga mendesak dan membujuk pihak-pihak yang bersengketa untuk berunding secara langsung dalam suasana yang positif dan konstruktif.

2. Conciliation, di mana pihak ketiga yang netral bertindak sebagai komunikator di antara pihak-pihak yang berselisih. Ini dilakukan bila pihak yang berselisih menolak untuk bertemu muka dalam perundingan langsung.

3. Peer –review, yaitu sekelompok wakil-wakil karyawan (panel) yang bisa dipercaya karena kemampuannya untuk tidak berpihak, mendengarkan pandangan, pendapat dan kepentingan pihak-pihak yang berselisih di dalam pertemuan informal dan konfidensial. Keputusan-keputusan dari panel dapat menjadi acuan untuk penyelesaian konflik.

4. Ombudsman : seseorang karyawan sebuah organisasi/perusahaan yang secara luas dihormati dan dipercaya oleh rekan-rekan sekerjanya, mendengarkan keluhan mereka secara konfidensial, dan berusaha mencari jalan keluar dengan pihak manajemen.

5. Mediation : pihak ketiga yang netral dan terlatih secara aktif menuntun pihak-pihak yang berselisih untuk menggali solusi-solusi inovatif untuk menyelesaikan konflik.

6. Arbitration : pihak-pihak yang berselisih bersepakat menerima keputusan dari arbitrator yang netral melalui proses seperti di pengadilan, seringkali lengkap dengan bukti-bukti dan saksi-saksi.

Contoh kasus, jika kita melanjutkan kasus perebutan pulau yang sebelumnya dilakukan dengan penyelesaian negoisasi namun gagal, kali ini penyelesaian dilakukan dengan adanya pihak ketiga, yaitu mediator. Mediator disini dipegang oleh pengadilan internasional. Dimana kedua negera yang bersengketa dinilai oleh para mediator. Manakah yang masuk studi kelayakan terhadap sengketa yang diperebutkan.

Contoh lain peran mediasi. Perbankan merupakan salah satu objek yang rentang dengan sengketa, banyak alasan mengapa dunia perbankan rentang dengan sengketa. Undang-undang dan hukum yang telah melindungi perbankan terkadang kurang membantu dalam berjalanannya perbankan dinegeri ini. Bahkan banyak terjadi sengketa-sengketa antar bank dan nasabah. Tidak jarang terjadi. Sebut saja kasus bank century yang dinyatakan failed oleh BI. Manakala bank tersebut tidak mampu membayar kewajibannya pada para nasabah. Para nasabah resah dan cemas dengan nasib investasinya. Disisi lain keadaan bank century yang tidak mampu mengembalikan dana-dana nasabah. Untuk penyelesaian kasus ini, bank Indonesia sebagai pusat dari segala perbankan di negeri ini turut andil dalam penyelesaian. Posisi BI bisa dikatakan sebagai fasilitator antara bank century dan nasabah. Disisi lain BI juga menjalankan kewajibannya dengan mengeluarkan kebijakan suntikan dana atau BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), namun dalam kenyataanya suntikan BLBI belum mampu mnutupi semua hutang-hutang bank century alhasil bank century dinyatakan failed.

Cara-Cara penyelesaian sengketa: Negoisasi

Sebelum membicarakan penyelesaian sengketa dalam kasus ekonomi, kita terlebih dahulu harus memahami apa itu sengketa, untuk itu akan saya uraiakan definisi sengketa. Sengketa adalah Suatu kejadian dapat disebut sengketa apabila disertai oleh dua faktor, yaitu “perkara” dan “artikulasi”. “Perkara” menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan “hal atau rumusan yang harus dikerjakan” atau secara spesifik berarti “perbuatan pelanggaran” merupakan syarat utama timabulnya sengketa. Selanjutnya “artikulasi” yang dalam bahasa Inggris berarti “the act process of speaking or expressing in word” merupakan pemicu terjadinya sengketa karena menempatkan para pelaku perkara pada posisi saling mempertahankan kepentingannya melalui proses penuntutan dan pembelaan. Jadi hubungan konfliktual terjadi apabila ada proses artikulasi.
Setelah kita memahami maksud dari sengketa, barulah kita dapat membagi-bagi cara penyelesaian sengketa dalam ekonomi. Pertama akan saya bahas melalui cara penyelesaian dengan negoisasi.
Negosiasi adalah sebuah bentuk interaksi sosial saat pihak - pihak yang terlibat berusaha untuk saling menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan. Menurut kamus Oxford, negosiasi adalah suatu cara untuk mencapai suatu kesepakatan melalui diskusi formal.
Negosiasi merupakan suatu proses saat dua pihak mencapai perjanjian yang dapat memenuhi kepuasan semua pihak yang berkepentingan dengan elemen-elemen kerjasama dan kompetisi. Termasuk di dalamnya, tindakan yang dilakukan ketika berkomunikasi, kerjasama atau memengaruhi orang lain dengan tujuan tertentu. Contoh kasus yang dapat kita ambil disini adalah kasus yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia, dimana kedua negera ini memperebutkan dua buah pulau yaitu sipadan dan ligitan. Jalan negoisasipun berlangsung lama. Hingga akhirnya menemukan jalan buntu. Hingga akhirnya dibawa pada pengadilan Internasional. Sehingga malah melibatkan banyak pihak. Menjadi lain lagi cara peyelesaian sengketanya.
Dalam negoisasi kita juga sering mendengar istilah lobi, istilah lobi disini memiliki kecenderungan tanpa batasan waktu, lobi juga dapat dilakukan secara terus menerus, berbeda dengan negoisasi yang hanya bisa dilakukan dalam jangka beberapa kali. Lobi disini bersifat informal, sedang negoisasi bersifat formal.
Kemampuan-kemampuan dasar bernegosiasi
Faktor yang paling berpengaruh dalam negosiasi adalah filosofi yang menginformasikan bahwa masing-masing pihak yang terlibat Ini adalah kesepakatan dasar kita bahwa "semua orang menang", filsafat ini menjadi dasar setiap negosiasi Kunci untuk mengembangkan filsafat supaya "semua orang menang" adalah dengan mempertimbangkan setiap aspek negosiasi dari sudut pandang pada pihak lain dan pihak negosiator.
Keterampilan - keterampilan dasar
Berikut ini, adalah keterampilan -keterampilan dasar dalam bernegosiasi :
1. Ketajaman pikiran / kelihaian
2. Sabar
3. Kemampuan beradaptasi
4. Daya tahan
5. Kemampuan bersosialisasi
6. Konsentrasi
7. Kemampuan berartikulasi
8. Memiliki selera humor
Taktik - taktik umum digunakan
Taktik memiliki beberapa tujuan. Taktik akan membantu untuk melihat permasalahan sebenarnya yang sedang diperdebatkan di meja perundingan. Taktik juga dapat menguraikan kemandekan Dan, dapat membantu untuk melihat dan melindungi diri dari kebohongona negosiator. Berikut ini, sembilan strategi negosiasi yang dapat digunakan dan dihindari :

• Mengeryit ( The Wince )
Taktik ini dikenal juga dengan istilah Terkejut ( Flinch ) merupakan reaksi negatif terhadap tawaran seseorang. Dengan kata lain, bertindak terkejut saat negosiasi yang diadakan pihak negosiator berjalan dengan keinginan pihak lain.
• Berdiam ( The Silence )
Jika Anda tidak menyukai apa kata seseorang, atau jika Anda baru saja membuat tawaran dan Anda sedang menunggu jawaban, diam bisa menjadi pilihan terbaik Anda. Kebanyakan orang tidak bisa bertahan dalam kesunyian panjang ( " Dead Air Time" ). Mereka menjadi tidak nyaman jika tidak ada percakapan untuk mengisi kekosongan antara Anda dan pihak lain. Biasanya, pihak lain akan merespon dengan konsesi atau memberikan kelonggaran.
• Ikan Haring Merah ( Red Herring )
Istilah ini diambil dari kompetisi tua di Inggris, Berburu Rubah ( Fox Hunting Competition ). Dalam kompetisi ini, tim lawan akan menyeret dan membaui jejak rubah ke arah lain dengan ikan. Sehingga, anjing lawan akan terkecoh dan kehilangan jejak. Sama halnya saat negosiator membawa "ikan amis" atau isu lain ke meja perundingan untuk mengalihkan perhatian dari isu utama bahasan.
• Kelakuan Menghina ( Outrageous Behaviour )
Segala bentuk perilaku - biasanya dianggap kurang bermoral dan tidak dapat diterima oleh lingkungan- dengan tujuan memaksa pihak lain untuk setuju. Seperti pihak manajemen muak dengan tuntutan yang dianggap tidak masuk akal dan terpaksa menandatangi kontrak dengan air mata kemudian membuangnya secara ganas dan dramatis seolah - olah diliput oleh media. Tujuan dari taktik ini adalah untuk menggertak orang - orang yang terlibat dalam negosiasi.
• Yang Tertulis ( The Written Word )
Adalah persyaratan ditulis dalam perjanjian yang tidak dapat diganggu gugat. Perjanjian, sewa guna usaha ( leasing ), atau harga di atas pahatan batu dan sekarang di kertas ( uang ) adalah contoh - contoh Yang Tertulis.
• Pertukaran ( The Trade-off )
Taktik ini digunakan untuk tawar - menawar. Pertukaran hanya menawarkan konsesi, sampai semua pihak setuju dengan syarat - syarat. Sebenarnya, taktik ini dipakai untuk kompromi.
• Ultimatum ( The Ultimatum )
Penggunaan ultimatum kadang-kadang ( seldom ) efektif sebagai taktik pembuka dalam negosiasi. Namun, suatu saat dalam sebuah negosiasi yang panjang saat Anda merasa Anda perlu menggunakan taktik ini.
• Berjalan Keluar ( Walking Out )
Pada beberapa situasi, berjalan keluar dapat digunakan sebagai strategi untuk memberikan tekanan pada pihak lain.
• Kemampuan untuk Mengatakan "Tidak" ( The Ability to Say "No" )
Sebuah taktik memepang peran sangat penting dalam segala macam strategi negosiasi dan cara menyampaikannya secara tepat. Pertama dan paling dasar untuk mempelajari taktik ini adalah bahwa apa pun bila mengatakan 'tidak' secara langsung, diterjemahkan oleh pihak lain sebagai 'ya'.